Hari ini gua mengalami kejadian yang lumayan aneh. Hal ini diawali ketika gua naik bis Pusaka menuju sekolah. Gua duduk di barisan paling belakang, kalian tahu lah, di ujung kursi yang ngederet panjang itu. Kira-kira beberapa saat setelah melewati underpass di jalan baru, orang aneh ini naik. Tampangnya masih muda gitu, kayak mas-mas pada umumnya. Hanya gendut. Jadi pas naik dia senyum-senyum ke gue. Gue biarin aja, dikira dia permisi mau duduk di tempat sebelah kiri gue yang masih kosong, serius, masih luas banget deh, bahkan untuk ukuran pantat orang segendut dia. Anehnya dia minta gue geser, malah mau duduk di sebelah kanan gue. Rese. Ya udah tuh gue geser.
Kemudian apa yang terjadi?
Dia ngedudukin tangan gue. Gue yang terkejut mengibas-ngibaskan tangan gue, kesakitan. Terus dia langsung tersenyum minta maaf sambil bilang; "eh maaf, maaf, maaf..." dan memegangi tangan gue. Gue yang baru aja selesai kaget, kaget lagi karena dia megang tangan gue, koreksi, meremas tangan gue, dan gue bilang sambil senyum "eh iya, gak papa kok." Setelah itu dia senyum lagi seraya kembali MENGGENGGAM TANGAN GUE DAN MENARUHNYA DI PANGKUANNYA. Oke, pertamanya gue masih bisa terima karena dia yang menimpa tangan gue dan berusaha membantu tangan gue untuk keluar dari himpitan pantat besarnya, tapi ini kelewatan.
Gue mulai merasa gak nyaman dan berpikir orang ini bermaksud yang enggak-enggak. Dia nanya; "sekolah ya dek?" Dalam hati gue berkata,
ya iyalah sekolah tulul. lu gak liat gue pake seragam rapi gini? Gue ingin tahu apakah dia emang sebego tampangnya, karena jelas-jelas lokasi yang terjahit di seragam gue menerakan nama sekolah gua.
Gua memutuskan untuk menjawab: "iya, sekolah."
Mungkin salah denger, dia nanya lagi, "hah, kerja?"
"Nggak, sekolah." Balas gue dengan sedikit keganggu. Mas-mas tak dikenal ini terus saja memegangi tangan gua dan tampaknya tidak peduli terhadap usaha keras gua untuk melepaskan diri dari genggamannya.
"Oh, sekolah", ucapnya sambil terus senyum-senyum, yang gue kasih tau lu semua, bener-bener menjijikkan. Ini mas-mas kegenitan banget. Serius. Serem gue liatnya.
"Kelas berapa?"
"Kelas 2." Gue bertekad ngejawab singkat-singkat aja, yang emang sama sekali nggak susah, mengingat gua ingin melepaskan diri dari dia.
Terus dia bilang lagi, "Kalo aku (aku, pula) ngajar di SMK 7."
Terus apa urusannya sama gue kalo lo ngajar di SMK 7??? Gue bahkan nggak tahu SMK 7 itu di mana, jerit gue dalam hati. Gue bener-bener gak mau terlibat percakapan lebih jauh lagi dengan orang
psycho ini. Gue pengen turun, tapi tanggung, kalo jalan jauh, sedangkan gue udah mau telat. Gue pengen bentak dia, tapi takut dia makin parah dan makin gak mau lepasin gue. Akhirnya gue tanggapi dengan senyum yang dipaksakan, "oh, gitu."
Orang itu senyum lagi sambil terus mainin tangan gue. Setiap gue tarik tangan gue, dia pegang lagi. Dia bahkan bersikeras untuk memegangi tangan gue ketika dia mengecek isi tasnya. Dalam hati gua bersumpah akan mendettoli tangan gue beberapa kali setelah sampai di sekolah. Kenapa nggak ada satu pun orang dalam bis yang tampaknya menyadari hal ini?
Setelah hening sesaat dan beberapa kali pelintiran tangan kemudian, dia nanya lagi.
"Di sekolah jurusan apa?"
Gua menggertakan gigi. Kepo banget sih nih orang. "IPS."
"Oh IPS", senyum menelnya tidak pernah meninggalkan bibirnya, ekspresi wajahnya seakan ia baru mendapat uang kaget. "Kalo aku ngajar."
Setelah kecanggungan beberapa saat, ia kembali melanjutkan monolognya.
"Iya", katanya sambil terus tersenyum menel, mengabaikan absennya tanggapan dari gue. "Aku ngajar bahasa Inggris di sana."
Lu kira gue peduli.
Gue yang nggak tau mau nanggapin apa dari pernyataannya itu, hanya tersenyum-senyum asem. Tapi tampaknya itu cukup baginya. Sial.
"Ntar main yuk ke sekolah aku", senyumnya, yang gue asumsikan dia maksudkan untuk terlihat menggoda, tapi gagal. "Nanti aku kasih nomor aku, catet ya..." Gue yang semakin
freaked out berusaha terlihat seperti nggak mendengar pemintaannya, tapi setelah dia tanyain "mau nggak? mau nggak?" beberapa kali gue berikan senyuman asem gue kepada mas-mas itu. Biarin. Gak berarti gue bilang iya kan. Sebentar lagi juga gue akan turun dari bis jahanam ini.
Saat udah mau sampe depan Yogya, gue siap-siap turun. Dan, sialan banget mas-mas menel itu, menarik tangan gue dan berkata; "turunnya nanti aja....ya? Sama aku. Kita main ke sekolah aku." Gue yang udah memutuskan bahwa orang ini punya kelainan psikologis berusaha menolak dengan cara halus, karena gak tau apa yang bakal terjadi kalo gue jutekin dia. Mungkin dia bakal ngamuk? Gila? Nangis? Gak mau ngelepasin gue? Karena saking bingungnya, dengan rada menggumam dan mata nanar gue bilang, "ini udah telat..."
Sedih. Sedih banget, Ni.
Untungnya dia mendengar ucapan gue. Fyuh. Karena ini benar-benar situasi kritis di mana bis sudah hampir mencapai Yogya. Gue pun dengan senang hati beranjak berdiri, melepaskan diri dari cengkraman sang Orang Menel Gendut Gila. "Yah...udah telat ya... Nggak simpen nomor aku?", desak si mas-mas yang masih berusaha untuk menahan gue, meraih tangan gue untuk membuat gue tinggal lebih lama.
Um, ew?
Melepaskan tangan, gue hanya tersenyum sekilas dan berkata, "lain kali deh" dan berbalik, mengabaikan tatapan kecewa dari si mas-mas
creepy.
Setelah bis berhenti di depan Yogya gue segera turun tanpa sekali pun memandang ke belakang (ke arah si mas-mas tepatnya). Tuhan, gue harap gue gak ketemu dia lagi.